Rabu, 01 Juni 2016

Model Pembelajaran Outbound

Model Pembelajaran Outbound
1.      Pengertian Model Pembelajaran Outbound
Pendidikan melalui kegiatan alam terbuka mulai dilakukan tahun 1821 disaat didirikannya Round Hill School. Secara sistematik pendidikan melalui kegiatan outbound dimulai tahun 1941 di Inggris. Lembaga pendidikan outbound pertama dibangun oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hahn dan bekerja sama dengan pedagang Inggris. Lawrence Holt. Pendidikan berdasarkan petualangan (adventure based education) tersebut dilakukan dengan menggunakan kapal layar kecil dengan tim penyelamat untuk mendidik para pemuda di zaman perang. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan kaum muda bahwa tindakan mereka membawa konsekuensi dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kasih sayang diantara mereka.
Hahn mengembangkan ide-ide progresifnya, pertama sebagai pendiri Sekolah Salem di Jerman dan kemudian di Gordonston, sekolah yang menumpang di Skotlandia, tetapi kemudian menjadi sekolah pertama yang berbeda dan paling inovatif. Hahn percaya bahwa pendidikan seharusnya menjadi “kompas” untuk mengarahkan intelektualitas dan karakter seseorang. Dalam  pengembangannya di sekolah Outwardbound. Ia menggunakan konsep exparential learning agar pengalaman yang dialami lebih nyata dan kuat untuk menggali harga diri (self esteem), menemukan potensi-potensi dan rasa tanggung jawab.
Konsep pendidikan di alam terbuka kemudian berkembang sejak tahun 1970-an diseluruh dunia termasuk Indonesia. Banyak lembaga pendidikan yang menerapkan outbound dalam proses pengajarannya. Penggunaannya mulai memberikan kontribusi positif terhadap kesuksesan belajar.
Berdasarkan sejarah yang telah dikemukakan, outbound adalah sebuah cara untuk menggali diri sendiri, dalam suasana menyenangkan dan tempat penuh tantangan yang dapat menggali dan mengembangkan potensi, meninggalkan masa lalu, berada di masa sekarang dan siap menghadapi masa depan, menyelesaikan tantangan, tugas-tugas yang tidak umum,  menantang batas pengamatan seseorang membuat pemahaman terhadap diri sendiri tentang kemampuan yang dimiliki melebihi dari yang dikira. Kegiatan outbound memberikan tantangan dalam kegiatannya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan seorang anak untuk masa depannya.
Outbound adalah sebuah petualangan yang berisi tantangan, bertemu dengan sesuatu yang tidak diketahui tetapi penting untuk dipelajari, belajar tentang diri sendiri, tentang lainnya dan semua tentang potensi diri sendiri. Anak dapat belajar mengenali kemampuannya serta kelemahannya sendiri melalui kegiatan outbound.
Dari uraian yang telah dikemukakan maka, outbound adalah kegiatan diluar ruangan yang bersifat petualangan dan penuh tantangan sebagai proses pembelajaran untuk menemukan potensi-potensi anak sehingga anak dapat  mengenali dirinya sendiri.
2.      Tujuan dan Karakteristik Model Outbound

a.       Tujuan Outbound
Tujuan outbound adalah menggali dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh anak melalui berbagai permainan yang ada yang dibuat menantang melalui media alam.
Pada outbound, anak dituntut untuk belajar mandiri dalam arti luas mulai dari mengatasi rasa takut, ketergantungan pada orang lain, belajar memimpin, mau mendengarkan orang lain, mau dipimpin dan belajar percaya diri. Steven Habit mengatakan ada tujuh keterampilan untuk hidup, yakni leadership life skill, learn to how, self confident, self awareness, skill communication, management skill and team work. Dari kegiatan kreatifitas itu dilakukan melalui proses pengamatan, interprestasi, rekayasa dan eksperimen yang dilakukan berdasarkan learning by doing yang berarti anak akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk menggali kemampuan dirinya sendiri dengan mengalami sendiri/discovery learning sehingga anak mendapatkan pengalaman untuk pembelajaran dirinya sendiri.

Outbound memberikan proses belajar sederhana dimana pengajaran atau pelatihan yang diberikan didesain untuk memberikan semangat, dorongan dan kemampuan yang didasarkan pada sebuah cara pendekatan pemecahan masalah. Ini akan memotivasi anak dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai perwujudan konsep diri positif.
Outbound adalah suatu program pembelajaran di alam terbuka yang berdasarkan pada prinsip experiential learning (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi. Artinya dalam program outbound tersebut anak secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang dilakukan.
Outbound juga dikenal dengan sebutan media outboundactivities. Outbound merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru disekolah. Dengan konsep interaksi antar siswa dan alam melalui kegiatan simulasi di alam terbuka. Hal tersebut diyakini dapat memberikan suasana yang kondusif untuk membentuk sikap, cara berpikir serta persepsi yang kreatif dan positif dari setiap siswa guna membentuk jiwa kepemimpinan, kebersamaan/teamwork, keterbukaan, toleransi dan kepekaan yang mendalam, yang pada harapannya akan mampu memberikan semangat, inisiatif, dan pola pemberdayaan baru dalam suatu sekolah.
Melalui simulasi outdoor activities ini, anak juga akan mampu mengembangkan potensi diri, baik secara individu (personal development) maupun dalam kelompok (team development) dengan melakukan interaksi dalam bentuk komunikasi yang efektif , manajemen konflik, kompetesi, kepemimpinan, manajemen resiko, dan pengambilan keputusan serta inisiatif.
b.      Karakteristik Outbound
Kegiatan outbound merupakan kegiatan belajar sambil bermain atau sebaliknya. Menurut  Vygotsky bermain mempunyai peran langsung terhadap perkembangan kognisi seorang anak dan berperan penting dalam perkembangan sosial dan emosi anak.

Menurut Heterington dan Parke, bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Belajar sambil bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan , mempelajari segala sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak serta untuk memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak.
Dworetzky mengemukakan bahwa fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peran penting bagi perkembangan kognitif dan sosial siswa. Jadi berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa manfaat bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral, kreatifitas, dan perkembangan fisik anak.
David Kolb menggambarkan proses pembelajaran experential learning dalam outbound dengan siklus sebagai berikut :





Mengacu pada gambar diatas, pada dasarnya pembelajaran eksperiensial ini sederhana dimulai dengan melakukan (do), refleksikan (reflect) dan kemudian terapkan (apply). Jika dielaborasi lagi maka akan terdiri dari lima langkah, yaitu mulai dari proses mengalami (experience), bagi (share), “dirasa-rasa” atau analisis pengalaman tersebut (proccess), ambil hikmah atau simpulkan (generalize), dan terapkan (apply). Begitu seterusnya kembali ke fase pertama, alami. Siklus ini sebenarnya never ending. Uwes menjabarkan deskripsi siklus sebagai berikut :
Langkah 1: Experience
Apa yang dimaksud dengan experience? Biarkan peserta didik kita mengalami dengan melakukan hal tertentu (perform and do it). Dalam kasus ni adalah melakukan trik service yang mengecoh lawan tersebut. Sebagai langkah awal,peserta didik diberikan serve yang mengecoh tersebut oleh kita. Biar dia merasakan / mengalami kesulitan dalam menerima serve tersebut. Kemudian, ia diminta untuk melakukan hal yang sama, memberikan serve dan teman yang lain menjadi penerima serve. Proses ini, dilakukan selama jangka waktu tertentu yang menurut anda dirasa cukup.

Langkah 2: Share (berbagi rasa/pengalaman)
Setelah semua peserta didik mencoba melakukan trik serve tersebut secara bergantian. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan proses sharing alias berbagi rasa. Semua peserta didik diminta untuk mengemukakan apa yang dia rasakan baik dari sisi “timing” serve, teknik melempar bola, memukul bola, posisi bola, posisi tangan, posisi berdiri dan lain-lain. Semua hal tersebut diungkapkan secara terbuka, rileks, dengan gaya masing-masing.





Langkah 3: Process (analisis pengalaman)
Tahap ini adalah tindak lanjut dari tahap kedua yaitu proses menganalisis berbagai hal terkait dengan apa, mengapa, bagaimana trik serve tersebut dilakukan termasuk bagaimana mengatasinya. Hal ini dilakukan dengan cara diskusi terbuka dan demonstrasi. Bila perlu rekan yang satu dengan yang lain saling mengoreksi dan memberikan masukan, termasuk mendemonstrasikan cara yang menurutnya lebih baik. Instruktur/guru bisa ikut  serta meluruskan cara yang lebih tepat.

Langkah 4: Generalize (menghubungkan pengalaman dengan situasi senyatanya)
Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan hasil analisis tersebut. Kesimpulan bersama, mungkin telah dihasilkan secara teoretis dari hasil analisis diatas. Namun, belum tentu hal tersebut dapat menyatu atau terintegrasi secara utuh dalam praktek senyatanya. Oleh karena itu, untuk pembuktian generalisasi dari hasil tersebut perlu dilakukan dengan pengulangan penerapan dalam situasi yang nyata. Maka, triks tersebut dicobakan kembali, sebelum beranjak ke triks yang sama tapi levelnya lebih tinggi lagi (lihat langkah 5)

Langkah 5: Apply (penerapan terhadap situasi yang serupa atau level lebih tinggi)
Langkah terakhir, adalah sama dengan langkah 4, namun dalam hal ini level penguasaan ditingkatkan ke hal baru yang lebih tinggi. Hal baru ini, akan menjadi bahan menuju langkah experiential learning ini mulai dari tahap experience-share-process-generalize-apply dan kembali lagi ke siklus awal. Begitu seterusnya.
Sementara Oemar Hamalik mengungkapkan karakteristik tahapan model pembelajaran outbound adalah sebagai berikut :



1. Guru merumuskan dengan teliti pengalaman belajar yang direncanakan untuk memperoleh hasil yang potensial atau memiliki alternative hasil
2. Guru berusaha menyajikan pengalaman yang bersifat lebih menantang dan memotivasi
3. Siswa dapat bekerja individual tetapi lebih sering bekerja dalam kelompok kecil
4. Para siswa ditempatkan dalam situasi-situasi pemecahan masalah nyata
5. Para siswa berperan aktif dalam pembentukan pengalaman membuat keputusan sendiri dan memikul konsekuensi atas keputusan tersebut.

Outbound memiliki beberapa jenis kegiatan antara lain melalui tutorial, high impact (kegiatan yang membutuhkan sarana pada ketinggian, misal flying fox, elvis brigde dll), low impact (kegiatan yang dilakukan tanpa sarana di ketinggian), training dan berbagai jenis games/permainan yang didesain khusus untuk pencapaian tujuan yang diharapkan.33Outbound untuk anak usia dini sebatas pada jenis kegiatan high impact sederhana (ketinggian disesuai usia dan tinggi anak), low impact, dan games dimana ketiganya dapat dimodifikasi menjadi sebuah permainan yang menarik bagi anak.

3. Prosedur Kerja
Tahap persiapan:
 Guru menentukan bentuk kegiatan/materi yang akan dilaksanakan
 Guru menentukan waktu pelaksanaan (di jam pelajaran/di luar jam pembelajaran) dan tempat (tempat-tempat mana saja yang akan digunakan dalam pelaksanaan)
 Guru mempersiapkan peralatan yang akan digunakan

Tahap pelaksanaan:
 Guru membagi anak dalam kelompok
 Guru menjelaskan tentang tugas dan aturan main


Tahap pengakhiran:
 Laporan dari masing-masing kelompok
 Refleksi, mereview seluruh kegiatan dari tiap siswa

KESIMPULAN

Kesimpulan dari seluruh materi tentang model pembelajaran outbound adalah outbound merupakan salah satu model pembelajaran yang tepat untuk pendidikan anak usia dini. Outbound menggunakan alam sebagai medianya dimana experential learning sebagai metode yang digunakan. Adapun bentuk kegiatannya berupa permainan yang memberikan tantangan pada anak sehingga anak berupaya untuk terus berusaha menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.
Sejatinya outbound adalah kegiatan yang terfokus pada pengembangan diri seseorang tetapi pada akhirnya outbound dapat juga dilakukan untuk menyampaikan materi-materi yang terdapat pada kurikulum pembelajaran nasional
  



GARIS BESAR ISI MEDIA SIARAN

GARIS BESAR ISI MEDIA SIARAN
(GBIMS)

Saluran                        : 5 (Siswa Usia Dini)
Kategori                      : Formal TK B
Program                       : TV-E
Mata Pelajaran            : Pengembangan Kreativitas Anak Usi Dini
Kelas                           : TK B
Kompetensi                 : Pengembangan kreativitas anak melalui seni
Topik/judul                  : Drama Musikal
Episode                       : 01 (Satu)      

Eps
Tingkat Pencapaian Perkembangan
Kegiatan Pembelajaran

Materi Pokok
Pustaka
1
Siswa diharapkan mampu melakukan drama dengan diiringi musik dan lagu. Sehingga melatih kognitif, linguistik, fisik motorik, sosial emosional, serta seni dalam diri anak
1.siswa dapat melakukan drama melalui musikalitas
Setelah melihat program ini siswa diharapkan dapat :
1.siswa mampu melakukan drama sesuai dengan sknario yang ada
2.siswa mampu mengikuti gerak melalui musik dan lagu
3.siswa mampu bernyanyi
1. naskah drama
2.koreografi
3.lagu anak-anak















BLENDED LEARNING UNTUK AUD

Apakah blended learning bisa diterapkan dalam pembelajaran anak usia dini?
Jawab :
Menurut kelompok kami blended learning  dapat digunakan untuk pembelajaran anak usia dini. Namun Blended learning tidak dapat digunakan secara utuh atau menyeluruh. Metode Blended learning yang dapat digunakan untuk anak usia dini adalah metode web enchanced course atau metode dimana pengajar selalu bertatap muka namun menyisipkan pula pembelajaran electronic learning untuk anak usia dini. Mengapa kami berpendapat seperti ini, hal ini dikarenakan anak usia dini sangat membutuhkan bimbingan serta pengawasan secara langsung dari pendidik. Pada dasarnya anak usia dini hanya mengetahui pembelajaran melalui bermain, dari bermain anak mampu mengeksplorasi atau membangun pengetahuannya sendiri dari lingkungan sekitar, teman sebaya maupun orang yang lebih dewasa. Anak usia dini yang berumur 0-8 tahun jelas masih sangat membutuhkan bimbingan, arahan dan pengawasan dalam pembelajaranya. Orang dewasa tidak bisa melepas begitu saja untuk anak mencari pengetahuan yang ada saat ini.
Mengapa menurut kelompok kami web course  dan web centric course tidak tepat digunakan bagi anak usia dini. Hal tersebut dikarenaka web course yang hanya penuh dengan online learning dan tidak ada tatap muka sedangkan anak usia dini sangat membutuhkan perhatian serta pengawasan langsung dari pendidik. Begitu pula dengan dengan web centric course , pembelajaran ini menyeimbangkan antara online learning dan classroon lesson. Hal tersebut tidak dapat digunakan dalam proses pembelajaran bagi anak usia dini karena masih adanya pembelajaran yang tidak bertatap muka. Hal ini memungkinkan tidak adanya pengawasan dan perhatian langsung pendidik atas pembelajaran yang dilakukan anak usia dini.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pembelajaran web enchanced course adalah:
1.      Guru dapat membuat bahan ajar dengan mengguanakan electronic learning seperti video maker, slide show power point dan slide show prezi.
2.      Lalu guru dapat menampilkan bahan ajar tersebut kepada peserta didik (anak usia dini) untuk dijelaskan sebagai sumber pemelajaran

3.      Dalam hal ini guru tetap mengawasi serta memperhatikan peserta didik apakah metode tersebut tersampaikan denga baik untuk anak usia dini.

KARAKTERISTIK PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL PAUD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk hidup sebagai bagian dari kelompoknya.Di dalam perkembangan sosial, anak dituntut untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana mereka berada. Tuntutan sosial yang dimaksud adalah anak dapat bersosialisasi dengan baik sesuai dengan tahap perkembangan dan usianya, dan cenderung menjadi anak yang mudah bergaul.
Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-saudaranya. Saat berhubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan anak yang dapat membentuk kepribadiannya, dan membentuk perkembangannya menjadi manusia yang sempurna.
Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh kondisi emosinya. Perkembangan emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.Suatu hal yang sangat bijak apabila kita mampu menciptakan lingkunganyang kondusif untuk membantu perkembangan emosi anak.
Emosi merupakan suatu gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri individu. Emosi juga berfungsi untuk mencapai pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu. Pada saat anak masuk Kelompok Bermain atau juga PAUD, mereka mulai keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki dunia baru..
Dalam dunia baru yang dimasuki anak, ia harus pandai menempatkan diri diantarateman sebaya, guru dan orang dewasa di sekitarnya. Karena  Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosional yang aman ke kehidupan baru yang tidak dialami anak pada saat mereka berada di lingkungan keluarga yang memberi perlindungan. Tidak setiap anak berhasil melewati tugas perkembangansosioemosional pada usia dini, sehingga berbagai kendala dapat saja terjadi.  Dan sebagai pendidik sepatutnyalah untuk memahami perkembangan sosioemosional anak sebagai bekal dalam memberikan bimbingan terhadap anak agar mereka dapat mengembangkankemampuan sosial dan emosinya dengan baik.
Perkembangan sosial individu mengikuti suatu pola, yaitu urutan perilaku sosial yang teratur, di mana pola tersebut sama untuk setiap anak secara normal. Dalam perkembangan sosial anak terdapat beberapa ciri dalam setiap periodenya.Untuk maksud tersebut di atas, dalam makalah ini akan dibahas tentang :  karakteristik perkembangan sosial emosional anak. 


1.2          Perumusan Masalah
                Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Karakteristik Perkembangan sosial emosional anak pada masa kanak-kanak awal
2.      Karakteristik Perkembangan sosial emosional anak pada masa kanak-kanak menengah dan akhir
3.      Ciri Yang Merupakan Karakter Perkembangan Sosial Padamasa       Bayi Dan Masa Prasekolah.

1.3          Tujuan
     Tujuan penulisan makalah ini adalah :
-          Untuk lebih memahami karakteristik perkembangan sosial emosional anak usia dini
-          Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah sosial emosional AUD

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional Pada Masa Kanak- Kanak Awal
            2.1.1    Diri
Dalam teori erikson, masa kanak-kanak awal adalah periode kitika perkembanagn melibatkan penyelesaian konflik inisiatif versus rasa bersalah. Pemahaman diri dari dasar tooddler berkembang menjadi representasi dari anak-anak prasekolah dalam hal atribut tubuh dan benda-benda milik pribadi, serta aaktivitas fisik. Pada sekitar 4-5 tahun, anak-anak juga mulai menggunakan deskripasi diri seperti sifat. Anak-anak menunjukan lebih banyk pemahaman diri dan pemahan terhadap orang lain yang lebih canggih dari yang dibayangkan sebelumnya. Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan persepsi, motorik, kognitif dan keterampilan bahasa mereka untuk mewujudkan berbagai hal. Kemudian atas inisiatif mereka sendiri, anak-anak pada tahap ini senang berpndah-pindah kedalam dunia sosial yang lebih luas. Pengatur utama inisiatif adalah berupa rasa bersalah. Rasa bersalah adalah hasil dari inisiatif yang dapat menurunkan harga diri selain mendatangkan imbalan. Pemaham diri sendiri dan memahami orang lain adalah dalam tahap ini anak mulai bisa mengerti terhadap diri sendiri dan orang lain. Prilaku yang dilakukan dan yang dilihat menjadi penilaian terhadap siapakah dirinya dan siapakah oarang lain tersebut.
2.1.2    Perkembangan Emosioanal
Rentang emosi anak pada masa kanak-kanak awal meluas seiring mereka semakain mengalami emosi sadar diri, seperti kebanggan, rasa malu, dan rasa bersalah. Antara usia 2 dan 4 tahun, semakin banyak istilah yang menggambarakn emosi digunakan dab belajar lebih banyak mengenai penyebab dan konsekuensi dari perasaan. Pada usia 4-5 tahun anak-anak menunjukan peningkatan kemampuan untuk mencerminakn dan memahami emosi bahwa satu aktivitas dapat menimbulkan emosi yang berbeda pada orang yang berbeda. Mereka juga menunjukan tumbuhnya kesadaran akan kebutuhan untuk mengelola emosi untuk memenuhi standar sosial. Orang tua yang melatih emosi memiliki anak-anak yang terlibat dalam pengaturan diri emosi mereka yang lebih efektif dibandingkan dengan orang tua yang mengabaikan emosi. Pengaturan emosi memaminkan pearan penting dalam hubungan teman sebaya yang berhasil. Perkembang emosional mereka pada masa kanak-kanak awal memungkinkan mereka untuk mencoba memahami reaksi emosioanal orang lain dan untuk mulai mengendalikan emosi emreka sendiri lalu mengespriskan emosi tersebut memahaminya dan mengatur emosi tersebut itu sendiri.
2.1.3    Perkembangan Moral
Perkembangan moral melibatkan pikiran, perasaan, dan prilaku mengenai aturan dan peraturab mengenai apa yang harus dilakukan dalam interkasi mereka dengan orang lain. Teori psikoanalisi Freud menekankan pentingnya perasaan dalam perkembangn suprego, sebuah cabang moral kepribadian. Emosi positif seperti empati juga berkonstribusi terhadap perkembangan moral anak-anak. Piaget menganalisis penalaran moral dan menyimpulkan bahwa anak-anak dari usia 4-7 yahun menampilkan moralitas heteronom, menilai prilaku dan konsekuensinya. Menurut teori prlaku dan sosial kogntif, prilaku moral berkembang sebagai hasil dari pengauatn, hukuman dan imitasi dan ada variabelitas situasioanl yang cukup besar dalam prilaku moral. Hati nurani mengacu kepada pengaturan internal standar benar dan salah yang melikbatkan integrasi pemikiran moral, perasaan dan prilaku. Hati nurani anak muncul dari hubunagn dengan orangtua. Orangtua memengaruhu perkembangan moral dnegan anak dengan mengembangka hubungan orangtua anak yang berkualitas dengan proaktif dalam menolong anak menghindari prlilaku salah dan dengan melibatkan anak dalam dialog percakapan tentang isu-isu moral.
2.1.4        Gender
Gender mengacu pada karakteristik orang sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas gender melibatkan kesadarn gender seseorang, termasuk pengetahuan,pemahan dan penerimaan sebagai laki-laki atau perempuan. Peran gender adalh seperangkat ekspetasi yang mengatur bagaimana perempuan tau laki-laki harus berpikir, bertindak dan merasa. Penggolongan gender mengacu pada akuisisi peran tradisional  maskulin taua feminin. Pengaruh biologis pada perkembanagn gender mencakup kromosom dan hormon. Namun, biologi bukan nasib utuh dalam perkembangan gender, pengalaman sosial anak-anak sanagt penting. Teori peran sosial, teori psikoanalisis,dan teri sosial kognitif menekankan berbagai aspek pengalamn sosial dalam perkembanagn karakteristik gender. Orang tua mempengaruhi perkembangan gender anak-anak dan teman sebaya sanagt mahir dalam memberikan imbalan prilaku sesuai gender. Tori skema gender menekankan baha penggolongan gender munculsaat anak-anak mengembangkan skema gender yang sesuai budaya dan yang tidak sesuai budaya.

2.2     Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional Pada Masa Kanak- Kanak Menengah dan akhir
            2.2.1    Diri
Pada masa kanak-kanak menengah dan akhir, peningkatan pemahaman diri melibatkan karakteristik sosial dan psikologis, termasuk perbandingan sosial. Anak-anak memperbaik perspectiv taking pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Dan pemahan sosial mereka juga menunjukan peningkatn kecanggihan psikologis. Konsep diri mengacu pada evaluasi domain spesifik dari diri. Harga diri mengacu pada evaluasi menyeleuruh dari diri dan juga disebut sebagai nilai diri atau citra diri. Harga diri terkait lebih kuat dengan kinerja sekolah dalam skla menengah, tetapi terkait lebih kuat dengan inisiatif. Empat cara untuk meingkatkan haraga diri dengan (1) Mengidentifikasi penyebab rendahnya harga diri (2) memberikan dukungan emosional dan persetujuan sosial (3) membantu anak-anak mencapai sesuatu, dan (4) membentuk anak-anak mengatasi sesuatu. Tahap perkembangan Erikson, tekun versus rendah diri, mencirikan tahun di masa kanak-kanak menengah dan akhir.
2.2.2    Perkembangan Emosional
Perubahan perkembangan dalam emosi meliputi peningkatan pemahaman seseorang terhadap emosi yang kompleks seperti kebanggan dan rasa malu, mendeteksi bahwa lebih adari satu emosi dapat dialami dalam situasi teretntu, mempertimbangkan keadaan yang menyebabkan reaksi emosional, meningktkan kemampuan untuk menekan atau menyembunyikan emosi negay=ti fan menggunakan strategi atas inisiatif diri sendiri untuk perasaan langsung. Saat anak-anak menjadi lebih tua, mereka lebih banyak menggunakan berbagai strategi coping dan strategi kognitif

            2.2.3    Perkembangan moral
Kohlberg berpendapat bahwa perkembanagn moral terdiri atas tiga tingkat yaitu : prakonvesional, konvesional, dan pascakonvensional dan enam tahap (dua pada setiap tingkat). Kohlberg berpendapat bahwa tahap ini terkait dengan usia. Pengaruh pada perubahan melalui tahap tersebut mencakup perkebanagn kognitif, imitasi dan konflik kognitif, hubungan teman sebaya, dan perspevtive taking. Kritik terhadap teori kohlberg telah dibuat, terutama oleg Gilligan yang mendukung kuatnya perspektif kepedulian. Kritik lainnya berfokus pada ketidakcukupan penalaran moral untuk memprediksi prilaku moral, pengaruh budaya dan keluarga, serta perbedaan antara penalaran moral dan penalaran konvensinal sosial. Prilaku prososial melibatkan prilaku moral yang positif seperti berbagi. Sebagian besar berbagi di tiga tahun pertama tidak dilakuakn untuk empati, namun sekitar usia 4 tahun, empatiberkonstribusi terhadap berbagi. Pada tahun-tahun awal sekolah dasar, anak-anak mengespriskan ide-ide objektif mengenai keadilan.
2.2.4    Gender
Steoretip gender adalah kategori luas yang mencerminakan kesan dan keyakinan mengenai laki-laki dan perempuan. Terdapat perbedaan sejumlah fisik antara laki-laki dan peremouan. Dalam hal ketrampilan kognitif, anak perempuan lebih baik dalam membaca dan menulis daripada anak-anak laki-laki. Beberapa ahli berpendapat bahwa perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan telah dibesar-besarkan. Dalam perbedaan sosial emosional laki-laki lebih agresif secara fisik daripada perempuan. Tannen berpendapat bahwa perempuan lebih suka Rapport talk I, namun penelitian terbaru menunjukan bahwa pendanag Tannen tersebut terlalu sederhana. Perempuan mengatur emosi mereka dengan lebih baik dan lebih terlibat dalam prilaku prososial daripada laki-laki. Klasifikasi peran gender berfokus pada bagaimana individu maskuli, feminin, atau androgini. Androgini berarti memiliki, baik karakteristik feminin maupun maskulin yang positif.

2.3.1     Ciri Yang Merupakan Karakter Perkembangan Sosial Padamasa       Bayi Dan Masa Prasekolah.


2.3.1    Karakteristik perkembangan sosial anak pada masa bayi
1-2 bulan
Belum mampu membedakan objek dan benda
3 bulan
-otot mata sudah kuat dan mampu melihat pada orang atauobjek yang diikuti
-mampu membedakan suara
- senyum sosial bila kedatangan orang yang dikenalnya

3         Bulan
-mampu memperlihatkan tingkah laku
-memperhatikan orang bicara
-tertawa dengan orang di sekitarnya

5-6 bualan
-tersenyum dengan bayi lain
-bereaksi berbeda terhadap suara yang ramah dan tidak

7 bulan
Kadang-kadang menjambak, agresif, mencakar
8 bulan
Memegang, melihat, merebut benda
9 bulan
Mengikuti suara-suara dan tingkah laku yang sederhana
10-13 bulan
-bermain dengan permainan
-mengenal larangan

14-18 bulan
-tertarik terhadap bayi lain
-ingin dekat dan berkomunikasi dengan orang dewasa

18-24 bulan
-mampu melakukan aktivitas sederhana
-menggunakan alat permainan sebagai alat untuk hubungansosial
-bermain bersama tanpa interaks


2.3.2    Karakteristik perkembangan sosial anak pada masa prasekolah
1) membuat kontak sosial dengan orang di luar rumah
2) mulai senang membentuk kelompok
3) ingin dekat dan berkomunikasi dengan orang dewasa
4) terjadinya cooperative play
5) memilih teman bermain
6) mengurangi tingkah laku bermusuhan
Secara umum ada 20 karakteristik perkembangan sosial/penyesuaian diri yang baik (Yeny Rachmawati, 2004), diantaranya
1)dapat menerima tanggung jawab sesuai dengan usianya
2)menikmati pengalamannya
3)menerima tanggung jawab sesuai dengan perannya
4)mampu memecahkan masalah dengan segera
5)mampu mengatasi hambatan untuk merasa bahagia
6)mampu membuat keputusan dengan resiko konflik minimum























.
BAB III

3.1     Kesimpulan

Dari penjelasan diatas yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwannya katakteristik perkembangn sosial emosional anak usia dini mengalami perbedaan sesuai jenjang usianya. Perkembangan yang terjadi di pada diri ank usia dini, perkembanagn emosional, perkembanagn moral dan gender mempenagruhi karakteristik perkembanagn sosial emosiona masing-masing anak.







DAFTAR PUSTAKA

Satrock w.john, 2011. masa perkembanag anak (childern). Yogyakarta
.salemba raya (penerjemah verawaty pahkapahn dan wajyu anugraheni